Pages

Jihad Sebagai Sistem Pertahanan dan Pemberdayaan Ummat

Oleh Drs. Muhammad Thalib

Sejak dunia mengenal bentuk kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak ada suatu negara pun yang tidak memiliki UU Pertahanan dan Keamanan, yang dengannya setiap negara mengatur cara dan bentuk negara bersangkutan dalam menjalankan pertahanan, melakukan penyerangan, dan meningkatkan upaya memelihara keamanan guna melindungi wilayah negara dan warga negaranya. Sebagaimana halnya, tidak mungkin suatu negara tanpa angkatan perang, persenjataan, dan latihan perang.
Terhadap UU demikian, tidak ada manusia yang berakal sehat menyatakan kecamannya dan menganggapnya sebagai pelanggaran atas Hak-hak Asasi Manusia, apalagi mengecamnya sebagai kekuatan yang mengancam keamanan dan keselamatan negara lain. Juga, tidak ada yang menganggapnya sebagai tindakan teroris atau agresi. Tetapi, justru diterima sebagai hal yang rasional, bahkan termasuk salah satu piagam PBB yang membenarkan perang sebagai alat untuk mendamaikan pihak-pihak yang saling bertempur.
Namun tragisnya, Amerika dan Negara Barat hanya berbekal kecurigaan adanya negara lain yang membahayakan negerinya, lalu dengan pongah dan penuh nafsu angkara murka, menghancur-leburkan negara yang dianggap sebagai sarang teroris atau lawan yang berbahaya. Seperti membom Vietnam (1961 – 1970) dengan alasan sebagai sarang kekuatan Komunis Asia Tenggara, membom Afghanistan dan Iraq dengan tuduhan sebagai sarang teroris tanpa mengenal moral dan perikemanusiaan sedikit pun.

Mengapa Syari’at Jihad
Dalam perspektif Islam, Syari‘at Jihad merupakan alat pertahanan dan keamanan negara. Namun di mata dunia barat, jihad justru dicurigai sebagai pemicu gerakan teroris. Ini tidak adil. Jika Dunia dewasa ini menerima kehadiran UU Hankam, maka logika yang waras mengharuskan kita untuk menerima dan membenarkan Syari‘at Jihad sebagai sebuah sistem pertahanan, keamanan, penangkalan, dan pemberdayaan umat dalam menghadapi kekuatan destruktif dan agresif. Tetapi, mengapa akal waras tidak berlaku di tengah-tengah kehidupan dunia yang mengaku beradab dewasa ini.
Al Qur’an menegaskan Syari’at Jihad dimaksudkan antara lain: Pertama, menegakkan kebenaran dan keadilan ketika kebenaran dan keadilan dihancurkan oleh golongan dzhalim dan sesat. Keadilan dan kebenaran merupakan pilar-pilar penjamin ketenteraman dan keselamatan hidup umat manusia. Bila hal ini terancam, maka Islam mengijinkan Jihad. Kedua, menjamin kebebasan umat manusia merasakan cahaya kebenaran dan hidayah Islam tanpa ada perasaan takut sedikit pun terhadap tekanan dan ancaman dari mana pun. Bila ada kekuatan-kekuatan yang menghalangi kebebasan ini, maka Islam membenarkan dilakukannya Jihad dengan harta dan jiwa.
Ketiga, membangun harga diri umat Islam dalam berhadapan dengan musuh-musuhnya supaya tidak dihinakan dan dipermainkan. Guna mencegah kesewenangan musuh-musuh Islam terhadap kaum Muslimin, maka Jihad merupakan sarana paling ampuh untuk menggentarkan niat busuk musuh-musuh Islam (Qs. Muhammad: 35). Keempat, membebaskan golongan lemah dari penindasan penguasa tiran, supaya kaum tiran menghentikan tindakan tiraninya kepada golongan lemah. Maka, senjata yang paling ampuh untuk menundukkan kelompok tiran adalah dengan Jihad (Qs. An Nisaa: 75). Dan kelima, memelihara kewibawaan Islam di hadapan musuh-musuhnya agar umat Islam tidak dirampas hak-haknya dan Islam dapat memelihara suasana perdamaian dan kesejahteraan dunia (Qs. Al Anfaal: 60).
Lima hal tersebut di atas merupakan realitas yang ada dalam kehidupan manusia sepanjang jaman. Sehingga, Islam harus memberikan respon dan solusi yang sejalan dengan tuntutan dinamika kehidupan manusia di mana saja dan kapan saja. Yaitu, adanya undang-undang pertahanan diri dari penyerangan musuh yang bersifat universal, rasional, dan realistis sejalan dengan tabiat dasar manusia.
Sebenarnya, agama Yahudi dan Kristen juga mempunyai doktrin perang sebagaimana termaktub pada Perjanjian Lama Kitab Ulangan: 20 ayat 10 (1) berbunyi:
“Ketika kamu mendekati suatu kota untuk memeranginya, lebih dulu ajaklah kepada perjanjian. Jika mereka menerima ajakanmu dan membukakan pintu untukmu, maka semua penduduk yang ada di kota itu harus tunduk kepadamu dan mengabdi kepadamu.” “Jika mereka tidak menerima ajakanmu, bahkan menyatakan perang, maka kepunglah kota itu, dan jika Tuhanmu menyerahkan kota itu padamu, kejarlah (pukullah) semua penduduk prianya dengan pedang. Adapun wanita dan anak-anak kecil, binatang dan segala isi kota lainnya, jadikanlah rampasan bagimu. Begitu pula hendaknya sikapmu terhadap kota-kota yang jauh sekali darimu yang bukan kota-kota bangsa di sini.” “Adapun kota-kota yang diberikan Tuhan di sini sebagai bagianmu, janganlah kau biarkan ada yang tinggal, bahkan hendaknya haramkanlah sebagaimana kamu berbuat pada orang Hatsi, Amuri, Kan’an, Parzi (Persi?) , Hawi dan Husibi sebagaimana yang telah Tuhan perintahkan kepadamu”
Dan pada Perjanjian Baru Kitab Matius Pasal 10 ayat 24 (2). “Janganlah kalian mengira, bahwa aku datang membawa perdamaian! Aku datang membawa pedang. Aku datang untuk memisahkan manusia dengan bapaknya, anak dengan ibunya dan menantu dengan anak kandungnya. Musuh-musuh manusia adalah saudara serumah. Siapa yang mencintai putra atau putrinya melebihi kecintaannya kepadaku, maka ia tak berhak mendapatkan kasih-Ku. Siapa yang tak mengambil salib dan mengikutiku, ia tak berhak mendapat kasihku. Siapa yang menggunakan hidupnya, ia akan sia-sia. Dan siapa yang menyia-nyiakan hidupnya demi aku, dia akan mendapatkan kasihku”
Dari kiab suci Yahudi dan Kristen membuktikan bahwa kedua agama tersebut memiliki watak opensif dan radikal terhadap non Yahudi dan non Kristiani. Bahkan, kedua agama ini menjadikan perang sebagai alat untuk menguasai bangsa lain tanpa ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi untuk melancarkan agresi dan intervensi. Faktanya, menganggap biangkerok terorisme atau maniak perang adalah Islam, jelas penipuan dan menyesatkan.

Syarat-syarat Jihad
Berbeda halnya dengan Islam, untuk melaksanakan Jihad harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Harus ada pengumuman dan pernyataan terbuka lebih dahulu kepada pihak yang hendak diperangi, dengan menerangkan alasan-alasannya yang sah (QS. Al Anfaal: 58). 2. Adanya pelanggaran perjanjian oleh pihak yang mengikat perjanjian dengan negara Islam, dan tidak mau mengindahkan peringatan-peringatan dari pihak Islam (QS. At Taubah: 4). 3. Adanya gelagat pengkhianatan dari pihak musuh Islam karena melihat tanda-tanda kelemahan dari pihak Islam (QS. At Taubah: 12). 5. Untuk membebaskan kaum Muslimin yang terancam kebebasannya di negeri-negeri bukan Islam di mana kaum Muslimin hidup dalam ketakutan dan kehilangan jaminan kehidupan beragamanya (QS. Al Baqarah: 190).
Syarat-syarat ini tidak terdapat di dalam Taurat dan Injil untuk dapat dijadikan pedoman yang normatif dan permanen oleh pihak Yahudi dan Kristen. Justru kedua ayat di atas menjadi pemicu bagi ummat Yahudi dan Kristen untuk melakukan tindakan perang yang brutal dan di luar batas kemanusiaan terhadap siapa saja yang tidak disukainya dengan berbagai alasan-alasan dusta, seperti yang dilakukan Amerika terhadap Afghanistan dan Iraq.

Agama Kristen dan Perang (3)
Para misionaris Injil berkata: “Tetapi jiwa Kristen itu secara mutlak menjauhkan diri dari peperangan”. Dalam hal ini, penulis tidak bermaksud membahas benar tidaknya kata-kata itu. Akan tetapi, di hadapan kita sejarah Kristen adalah saksi yang jujur, sebagaimana sejarah Islam juga sebagai saksi yang jujur pula. Sejak masa permulaan agama Kristen hingga masa kita sekarang ini, seluruh penjuru bumi telah berlumuran darah atas nama Al Masih. Bumi telah dinodai oleh Romawi, oleh bangsa-bangsa Eropa semuanya.
Dalam rangkaian sejarah dunia, sudah terbukti bahwa peperangan-peperangan Salib telah dikobarkan oleh orang-orang Kristen sendiri dan bukan oleh orang Islam. Mengalirnya pasukan-pasukan tentara sejak ratusan tahun lalu dari Eropa menuju daerah-daerah Islam di Timur adalah atas nama Salib: peperangan, pembunuhan serta pertumpahan darah. Dan setiap kali, para Paus sebagai pengganti Yesus, memberi berkah dan restu kepada pasukan-pasukan tentara itu, yang bergerak maju hendak menguasai Baitul Maqdis (Yerusalem) dan tempat-tempat lainnya yang dianggap suci bagi Kristen.
Adakah mungkin para Paus itu semuanya merupakan orang-orang yang telah menyimpang dari agamanya ataukah kekristenan mereka itu palsu? Ataukah karena mereka merupakan manusia pembual yang bodoh, tidak mengetahui bahwa agama Kristen itu secara mutlak menjauhkan diri dari perang? Atau akan dikatakan: “Itu adalah peristiwa Abad Pertengahan, Abad Kegelapan; janganlah agama Kristen diprotes pula. Kalau itu yang mereka katakan, maka pada abad kedua puluh ini, masa kita hidup sekarang ini pun, yang biasa disebut sebagai abad kemajuan dan humanisme –toh dunia juga sedang mengalami nasib seperti yang telah dialami pada Abad-abad Pertengahan yang gelap itu. Ucapan Lord Allenby menjadi bukti sejarah yang tidak terbantahkan, bahwa sebagai wakil Sekutu –Inggris, Perancis, Italia, Rumania, dan Amerika— Lord Allenby berkata di Yerusalem, pada penutup Perang Dunia I, ketika kota itu didudukinya pada tahun 1918: “Sekarang Perang Salib baru saja selesai.”

Jihad dan Terorisme
Dengan memahami apa yang menjadi latar belakang Syari‘at Jihad, tujuan dan syarat-syaratnya sebagaimana dipaparkan di atas, maka dapatlah kita mengerti bahwa Jihad memiliki pengertian Umum dan Khusus, sebagaimana yang dijelaskan macam-macamnya oleh Imam Malik dalam kitab Al Mudawwanatul Kubra, juz V halaman 178 – 179.
Secara khusus, Jihad berarti memerangi musuh dengan pedang, yaitu memerangi kaum kafir dan musyrik yang memerangi Islam. Adapun Jihad dalam pengertian Umum, ada tiga macam:
1. Jihad melawan hawa nafsu, sebagaimana tersebut pada QS An Nazi ‘at: 40-41. Maksudnya jihad melawan godaan syetan, mengekang hawa nafsu dari melakukan hal-hal yang haram.
2. Jihad dengan lisan, yaitu melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, seperti membantah kebohongan kaum munafik, mendebat propaganda golongan kafir dalam memutarbalikkan kebenaran Islam, seperti tersebut pada QS. At Taubah: 73.
3. Jihad dengan tangan, yaitu tindakan penguasa mencegah perbuatan-perbuatan munkar, dosa besar, dan kebathilan dengan kekuasaannya, seperti memberantas perjudian, melarang pelacuran, memusnahkan minuman keras, dan menghukum para pemabuk, sebagaimana disebutkan dalam hadits Bukhari dan Muslim.
Dari uraian di atas, jelas bahwa pengertian Jihad adalah perjuangan untuk menegakkan agama Allah di muka bumi, baik dengan lisan, tangan maupun dengan pedang. Masing-masing bentuk Jihad tersebut diterapkan sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisinya.
Adapun terorisme adalah bentuk tindakan destruktif agresif tanpa mengenal norma hukum, keselamatan ummat manusia, dan ketenteraman hidup bersama, bahkan sebaliknya sekadar untuk menimbulkan kemelut dan kekacauan. Terorisme merupakan bentuk anarkisme yang oleh Islam dikategorikan sebagai tindakan yufsiduuna fil ‘ardli. Tindakan semacam ini jelas dilarang di dalam Islam.
Maka, penggunaan terminologi terorisme terhadap perjuangan jihad kaum Muslimin adalah sebuah tindakan keji, tidak bermoral, dan menunjukkan mentalitas yang kacau. Orang semacam ini tidak bisa membedakan apa yang disebut membangun kebenaran dan keadilan dengan merusak kebenaran dan keadilan. Semua bentuk perang yang dilakukan oleh golongan non Muslim di dunia ini berkategori teror karena hanya menimbulkan fasadun fil ‘ardli baik dalam pandangan Islam maupun kepentingan peradaban.
Jihad tidak pernah menghancurkan umat yang diserbunya atau ditaklukkannya, tetapi justru umat tersebut dibangun peradabannya, moralnya, dan kesejahteraan dunianya. Dan, ini diakui oleh Comte Henry de Castri dari Perancis dalam bukunya Ta‘ats tsurat wa wabaa hits yang menyatakan bahwa sepanjang perjalanan sejarah, umat Islam tidak meninggalkan kesan buruk kecuali yang tidak bisa dihindari seperti dalam peperangan dan semacamnya. Mereka tidak pernah membunuh suatu ummat hanya karena tidak mau masuk Islam.
Jadi, jihad dalam Syari‘at Islam, merupakan sistem pembinaan ummat untuk mempertahankan eksistensi dunia yang bebas dari kedzhaliman, tirani, eksploitasi golongan kaya terhadap yang lemah, kebebasan memilih agama, memberantas segala bentuk hal yang destruktif, serta memberdayakan sifat-sifat keshalihan manusia untuk membangun dunia yang rahmatan lil alamin. Untuk mewujudkan cita-cita luhur semacam ini, Jihad tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia yang penuh dinamika konfrontasi antara yang haq dengan yang bathil. Oleh karena itu, pada titik puncaknya, jihad juga menuntut bentuk yang paling tidak disenangi oleh umat manusia, tetapi dibutuhkan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, yaitu Jihad dengan Pedang.

1. Haekal, Muhammad Husain, Sejarah Hidup Muhammad, hal 238-239. Litera AntarNusa. 2000.

Source : LaskarMujahidin

No comments:

Post a Comment

Silahkan tuliskan komentar Anda tentang Artikel di atas.
Trimakasih sebelumnya dan Semoga bermanfaat...
amiin.. ^_^